Gudang Informasi

Contoh Opini Dalam Bahasa Inggris Wacana Teachers Day Lengkap Beserta Arti

Contoh Opini Dalam Bahasa Inggris Wacana Teachers Day Lengkap Beserta
Arti
Contoh Opini Dalam Bahasa Inggris Wacana Teachers Day Lengkap Beserta
Arti

Contoh Opini Dalam Bahasa Inggris Tentang Teachers Day Lengkap Beserta Arti




Halo teman IBI, beberapa waktu kemudian kita gres saja merayakan hari guru. Siapa sih di dunia ini yang tidak mempunyai guru? Baik guru yang mengajarkan kita wacana ilmu pengetahuan di dalam kelas, maupun guru yang mengajarkan kita wacana banyak hal dalam kehidupan. Guru ialah sosok yang sangat berharga dalam hidup kita. Tanpa mediator mereka, kita tidak akan hidup sebagaimana diri kita sekarang.


Nah, kali ini IBI akan mengulas wacana opini dalam bahasa Inggris dengan teman Teachers Day atau Hari Guru. Opini berikut ialah goresan pena Agus Mutohar yang admin kutip dari laman The Jakarta Post edisi Jumat, 25 November 2016.




Contoh Opini Dalam Bahasa Inggris Tentang Teachers Day Lengkap Beserta Arti Contoh Opini Dalam Bahasa Inggris Tentang Teachers Day Lengkap Beserta Arti
Contoh Opini dalam Bahasa Inggris wacana Teachers Day Lengkap Beserta Arti

 


 


Langsung saja, berikut opini dalam bahasa Inggris bertema Teachers Day.




Teachers’ day: Questioning role of teachers in Indonesia




Indonesia is today celebrating the 71st year since teachers’ day was launched in 1945. Teaching, which used to be depicted as Oemar Bakrie (an underpaid profession), is now becoming more popular thanks to Law No. 14/2005 on teachers and lecturers.


Moreover, the government through the Education and Culture Ministry regulates teacher certification, which has increased the salaries of certified teachers. As an illustration, a level III civil servant teacher who has a basic salary of Rp 2.9 million (US$214) receives a certification salary of up to Rp 2.7, almost doubling their take-home pay. Teachers also receive another salary such as a regional allowance in some regions, including Jakarta.


Of course, this is good news for the 2,294,191 certified teachers compared to teachers’ uncertain fate in the past, when some worked part time due to insufficient salaries.


The teacher certification policy is intended to increase national education performance; however, after almost 10 years of implementation, the results are not straightforward. Many studies such as one conducted by the World Bank in 2014 have concluded that teacher certification has not increased teacher competency or learning outcomes.


Every year, certified teachers are evaluated through a competence evaluationThe results of last year’s evaluation were pathetic. Of more than 2 million certified teachers, only 192 achieved a score of 90 in pedagogical tests, and most scored below 56.


Looking at this reality, teachers should not play the blame game by citing the poor quality of certification programs or bad programs at university. As part of change agents, teachers should play active roles in developing their competencies, not only relying on the government’s program.


Although teachers are often positioned as victims of higher authorities and forced to comply with educational policies without having an opportunity to question them, teachers can still engage and enact such policies on a day-to-day basis in the classroom in meaningful ways as they have direct contact with students.   


As the forefront of educational change in classrooms, teachers need to ponder the basic role of being teachers. The answer is to facilitate students having added value in their lives.


Therefore, teaching should be centered on enabling students to learn more and realize their potential in life. This philosophy goes back to what our role model in education, Ki Hadjar Dewantara, once said: “Children live and grow up by their ability. The task of educators is to foster the development of their ability.”


Even though that type of education is rare under a standardized educational system like in our country, all parents in Indonesia hope teachers will modify their teaching to be more creative, innovative and joyful so that students can be motivated to learn new things.


In order to be able to teach in innovative and creative ways, teachers need to be intrinsically motivated. They can do that by questioning the purpose of teaching. Are they a teacher who wants to contribute to the nation or become a problem?


External rewards such as additional salaries might not work well in improving our national education system, if teachers do not have personal belief or the motivation to become “champion teachers”.


We need to look back at our educational pioneer, Ki Hajar Dewantara, who lived in an kala of limited information, unlike now. Yet, he was able to lay the foundations for meaningful education in our country. As a teacher, I believe he had much personal motivation to contribute to the country through building better education.


Living in this time of rapid and accessible information, teachers can easily gain new knowledge on how to teach actively and creatively from books, the internet and their colleagues.


To become champion teachers, we do not need to compare our country with other best-performing education systems worldwide such as those in Finland and Singapore. After having discussions with educators and scholars around the world, I bravely argue that we should not rely on best practices in teaching that we can learn from overseas. 


Best practice in our education system will arise when teachers can identify what we have in our own schools and classrooms and think about how we can use them to facilitate students in creative and innovative ways.


Finally, happy teachers’ day from a fellow teacher. It is to teachers around the nation that we owe thanks for making our country better.


 




Hari Guru: Mempertanyakan Peran Guru-guru di Indonesia




Indonesia hari ini merayakan 71 tahun semenjak hari guru diluncurkan pada tahun 1945. Mengajar, yang dipakai untuk digambarkan sebagai Oemar Bakrie (profesi yang bergaji rendah), kini menjadi lebih terkenal berkat untuk Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 wacana guru dan dosen.


Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatur sertifikasi guru, yang telah meningkatkan honor guru bersertifikasi. Sebagai ilustrasi, guru PNS tingkat III yang mempunyai honor pokok Rp 2,9 juta (US$ 214) mendapatkan honor sertifikasi hingga dengan Rp 2.7 juta, hampir dua kali lipat dari take – home pay mereka. Guru juga mendapatkan honor lain ibarat derma regional di beberapa daerah, termasuk Jakarta.


Tentu saja, ini ialah info baik bagi 2,294,191 guru bersertifikasi dibandingkan dengan ketidakpastian nasib guru di masa lalu, ketika beberapa guru bekerja paruh waktu alasannya ialah honor yang tidak memadai. Kebijakan sertifikasi guru ini ditujukan untuk meningkatkan kinerja pendidikan nasional; Namun, sesudah hampir 10 tahun implementasi, risikonya belum benar-benar memecahkan permasalahan. Banyak studi ibarat yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2014 menyimpulkan bahwa sertifikasi guru belum bisa meningkatkan kompetensi guru atau hasil belajar.


Setiap tahun, guru bersertifikasi dievaluasi melalui penilaian kompetensi. Hasil penilaian tahun kemudian sangat menyedihkan. Dari 2 juta lebih guru bersertifikasi, hanya 192 yang mencapai Skor 90 di tes pedagogis, dan sisanya hanya mencapai skor di bawah 56.


Melihat kenyataan ini, guru tidak seharusnya bermain saling menyalahkan dengan mengutip buruknya kualitas agenda sertifikasi atau buruknya agenda di universitas. Sebagai bab dari biro perubahan, guru harus memainkan tugas aktif dalam berbagi kompetensi mereka, tidak hanya mengandalkan agenda pemerintah.


Meskipun guru sering diposisikan sebagai korban dari otoritas yang lebih tinggi dan dipaksa untuk mematuhi kebijakan pendidikan tanpa mempunyai kesempatan untuk bertanya, guru masih sanggup terlibat dan memberlakukan semacam kebijakan pada acara dasar sehari-hari di kelas alasannya ialah merekalah yang melaksanakan kontak eksklusif dengan siswa.


Sebagai yang terdepan dalam perubahan pendidikan di kelas, guru perlu merenungkan tugas dasar menjadi seorang guru. Jawabannya ialah untuk memfasilitasi siswa biar mempunyai nilai tambah dalam hidup mereka.


Oleh alasannya ialah itu, pengajaran harus berpusat pada memungkinkan siswa untuk berguru lebih banyak dan menyadari potensi mereka dalam hidup. Filosofi ini kembali kepada apa yang panutan pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, pernah katakan: “anak-anak hidup dan tumbuh dengan kemampuan mereka. Tugas pendidik ialah untuk mendorong pengembangan kemampuan mereka.”


Meskipun tipe pendidikan ibarat itu tergolong langka di bawah sistem pendidikan standar ibarat di negara kita, para orangtua di Indonesia berharap guru-guru akan memodifikasi cara pengajaran mereka untuk menjadi lebih kreatif, inovatif dan menyenangkan sehingga siswa sanggup termotivasi untuk berguru hal baru.


Agar bisa mengajar secara inovatif dan kreatif, guru perlu termotivasi dari dalam dirinya sendiri. Mereka bisa melaksanakan itu dengan bertanya tujuan dari mendidik. Apakah mereka seorang guru yang ingin berkontribusi pada bangsa atau malah menjadi masalah?


Penghargaan dari luar ibarat honor pelengkap mungkin tidak bekerja dengan baik dalam meningkatkan sistem pendidikan nasional kita, kalau guru tidak mempunyai keyakinan pribadi atau motivasi untuk menjadi “guru juara”.


Kita perlu melihat kembali pada pencetus pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, yang hidup di kala keterbatasan informasi, tidak ibarat ketika ini. Namun, ia bisa meletakkan dasar pendidikan yang berarti di negara kita. Sebagai guru, saya percaya ia punya banyak motivasi pribadi untuk berkontribusi terhadap negara melalui membangun pendidikan yang lebih baik.


Hidup di zaman ini ketika informasi cepat dan gampang didapatkan, guru bisa dengan gampang memperoleh pengetahuan gres wacana bagaimana mengajar secara aktif dan kreatif dari buku, internet, serta rekan-rekan mereka.


Untuk menjadi guru juara, kita tidak perlu membandingkan negara kita dengan sistem pendidikan lain yang mempunyai berperforma terbaik di seluruh dunia ibarat di Finlandia dan Singapura. Setelah berdiskusi dengan pendidik dan peneliti di seluruh dunia, saya dengan berani beropini bahwa kita tidak seharusnya mengandalkan praktek-praktek terbaik dalam mengajar yang sanggup kita pelajari dari luar negeri.


Praktik terbaik dalam sistem pendidikan kita akan timbul ketika guru sanggup mengidentifikasi apa yang dimiliki sekolah dan kelas kita sendiri dan berpikir wacana bagaimana kita sanggup menggunakannya untuk memfasilitasi siswa dengan cara yang kreatif dan inovatif. Akhirnya, selamat hari guru dari sesama guru. Ini ialah untuk guru-guru di seluruh Indonesia yang mana kita berhutang terima kasih untuk menciptakan negara kita menjadi lebih baik.




Demikian rujukan opini dalam Bahasa Inggris bertema Teachers Day. Semoga bermanfaat yaa.





Advertisement